Monday, June 8, 2009

KANTIN KEJUJURAN VERSUS PRINSIP 3-2-1

tulisan berikut gw dapet dari satriadharma’s weblog. gw suka ama isi dan gaya bahasanya. coz gw ngeliatnya gaya bahasanya yang asik gitu dan isinya juga cerdas dan menyentil. :)

KANTIN KEJUJURAN VERSUS PRINSIP 3-2-1

Kalau Anda belum tahu apa itu ‘Kantin Kejujuran’ sebaiknya Anda membaca link berikut ini (http://www.diknas-padang.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=23&artid=240) atau (http://blogberita.net/2008/03/02/kantin-kejujuran/), lantas setelah itu mari kita membayangkan sebuah kantin sekolah yang sungguh ideal dimana setiap siswa dan guru adalah mahluk-mahluk jujur belaka dimana jika mereka masuk ke kantin sekolah, yang biasanya dijaga oleh istri Pak Bon dengan mata elangnya, tapi yang satu ini tidak dijaga siapa pun kecuali sejumlah malaikat berstatus volunteer yang tidak terlihat dan mendapat tugas khusus untuk mencatat siapa-siapa saja siswa dan guru yang mungkin belum kaffah kejujurannya. Tapi kalau mau ngemplang ya silakan saja. Hebat kan!

Para pembeli di kantin ini tentunya, diharapkan, adalah para siswa dan guru yang memasuki kantin dengan penuh keimanan di dada dan juga harus menguasai matematika (minimal aritmatika dasar penambahan dan perkalian) agar tidak keliru dalam membayar sejumlah uang sesuai dengan makanan, minuman, dan camilan yang mereka konsumsi serta berapa kembaliannya. Tak ada istri Pak Bon dengan mata elang dan kejeniusan aritmatiknya yang akan menghitungkan berapa uang yang harus kita bayar untuk makanan dan minuman yang kita kudap (atau mengingatkan siapa-siapa yang ngeloyor begitu saja tanpa membayar seolah masih sanak famili dari Pak Bon pemilik kantin). Di kantin jenis ini diharapkan siswa tidak menerapkan Prinsip 3-2-1 yang biasanya mereka terapkan di kantin reguler.

Apa itu Prinsip 3-2-1? Mohon jangan membayangkan ini sebagai strategi atau formasi tim LA Lakers karena prinsip ini berbunyi “Makan 3, Ngaku 2, Bayar 1”. Ini adalah semacam kredo siswa-siswa ‘mbeling’ yang mungkin ada di setiap sekolah yang kalau makan di kantin sekolah selalu berusaha untuk menerapkan prinsip ekonomi yang mulia dan agung ‘dengan usaha sekecil-kecilnya mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya’, atau prinsip kreditor klas internasional yang berbunyi “Kalau bisa ngemplang kenapa harus bayar? Apa kata dunia…?!”.
Jadi kalau mereka masuk ke kantin mereka akan makan seenaknya dengan cepat (kalau bisa tanpa mengunyah) dan membayar seenaknya pula. Mereka adalah para ‘kreditor’ berdarah dingin yang tidak perduli apakah dengan tindakan mereka tersebut akan membangkrutkan Pak Bon pemilik kantin atau tidak. Mereka juga tidak segan datang berombongan dengan kecepatan kilat dan kerjasama yang rapi untuk menghabiskan kudapan yang tertata rapi di meja kantin sekolah. Dengan semangat “Vini, Vidi, Vici” mereka membuat penunggu kantin terbengong-bengong melihat betapa pisang goreng yang semula sudah dihitung baik-baik ada dua puluh biji tapi kemudian uang yang masuk ke kotak kas cuma senilai lima biji! Tak ada gunanya berdebat dengan siswa-siswa ‘berdarah dingin’ ini karena sulit untuk membuktikan siapa makan apa dan berapa banyak. Mereka akan saling melindungi bak mafioso Italiano. Paling-paling Pak Bon akan menyimpan dendamnya diam-diam seperti biasanya dan bermimpi suatu saat jadi kepala sekolah. Kalau saja dia punya kekuasaan seperti kepala sekolah mungkin siswa-siswa mbeling tersebut sudah ia pecat dari sekolah biar hidupnya ‘ngere’ semua. Kok ya tega-teganya mereka merusak perekonomian mereka yang begitu labil tersebut!

Jadi siswa-siswa ini memang perlu diajari soal kejujuran agar kalau mereka kelak jadi anggota masyarakat yang terhormat mereka tidak lagi berusaha ngemplang dan sabet sana-sini. Indonesia sudah kebanyakan koruptor dan something has to be done. Pelajaran kejujuran itu harus dimulai dari sekolah dan ide tentang ‘Kantin Kejujuran” tersebut sungguh menarik. Begitu menariknya sehingga dengan cepat ide ‘Kantin Kejujuran’ ini diadopsi di mana-mana dan dianggap sebagai sebuah solusi untuk mendidik manusia-manusia Indonesia yang terkenal ‘ndableg pol’ dalam soal korupsi. Ide ini berhasil entah dimana, diberitakan dengan penuh gegap gempita, dan dianggap sebagai sebuah cara yang sangat tepat untuk mendidik siswa agar kelak tidak tumbuh menjadi koruptor seperti bapaknya. Untuk itu siswa harus diajari untuk bersikap jujur, tidak boleh ngemplang di kantin, tidak boleh kucing-kucingan dengan Bu Bon bermata elang, dan yang penting diberi kepercayaan bahwa mereka, para anak-anak penerus generasi bangsa tersebut, pastilah bisa lebih jujur ketimbang bapaknya yang koruptor. “Beri aku sepuluh pemuda dan akan aku guncangkan dunia” begitu kata Sukarno dulu. “Beri aku sebuah kantin dan akan aku ubah mereka menjadi anak-anak yang jujur dan beriman belaka” mungkin ini kalimat turunannya. “Kantin Kejujuran” adalah ide yang sungguh original dan brilian untuk mengubah nasib bangsa yang terpuruk gara-gara korupsi yang sudah dianggap sebagai ‘gawan bayi’! (Paling tidak pada saat dicetuskan dan dibayangkan).

Tapi saya sungguh tidak bisa menahan geli ketika muncul berita tentang bangkrutnya sebuah kantin Kejujuran di SMAN Tulungagung yang diresmikan oleh Pak Bupati! Kantin kejujuran SMUN 01 Boyolangu Kabupaten Tulungagung yang di-launching 20 hari lalu bangkrut. Pasalnya, modal awal yang disediakan panitia dan diharapkan bisa mencegah prilaku korupsi sejak dini tak kembali.
Realita ini membuat pihak sekolah memutuskan menutup sementara kantin kejujuran. Salah satu siswa kelas III IPA menuturkan, tidak sedikit dari teman-temanya yang sengaja mengambil untung dalam proyek yang disponsori Kejaksaan itu. Siswa yang tidak jujur dengan leluasa mengambil makanan dan minuman tanpa mau membayar. “Kalaupun membayar, biasanya oknum siswa ini mengambil kembalian uang yang tidak sesuai” lanjutnya. Modal awal sebesar Rp1.500.000, saat ini tinggal Rp. 90.000. Akibatnya kantin kejujuran ini harus ditutup untuk sementara untuk waktu yang tidak ditentukan. Mungkin harus menunggu program ‘bail-out’ dari Pak Bupati. 

Sekedar diketahui, kantin kejujuran SMUN 01 Boyolangu ini diresmikan bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi sedunia. Selain Kejaksaan dan muspida setenpat, Bupati Tulungagung Heru Tjahjono beserta seluruh jajarannya menyempatkan hadir dalam acara ini. Baca http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/29/1/177767/kantin-kejujuran-tulungagung-bangkrut

Tidak sesuai harapan? Bagi saya it’s so predictable! Menurut saya sungguh naif jika Pak Bupati dan para muspida berharap akan menuai sukses dengan mudahnya. Mungkin mereka berpikir masalah kejujuran bagi siswa sekolah adalah masalah membalik tangan. Mungkin beliau-beliau ini berpikir bahwa para siswa mbeling akan keder dengan ‘malaikat pencatat amal’ yang tidak kelihatan. Sungguh menggelikan harapan ini. Mereka lupa bahwa kejujuran, dan nilai-nilai luhur lainnya, butuh keteladanan lebih dahulu utamanya dari bapak-bapak mereka yang punya ide. 

Para pejabat ini mungkin tidak sadar bahwa mereka berhadapan dengan anak-anak mafioso yang selama ini tidak gentar menghadapi Pak Bon dan tim auditornya. Jadi jelas mereka tidak akan menggubris konsep ‘malaikat.pencatat amal baik dan buruk’ yang tak nampak dan tak mampu berbuat apa-apa selain mencatat itu. Di tangan para siswa berprinsip 3-2-1 inilah nasib Kantin Kejujuran ditentukan. Selama Pak Bupati belum meneken ‘Pakta Perdamaian’ dengan para begundal ini maka jangan harap bendera “Kantin Kejujuran” akan berdiri tegak. Berapa pun modal Pak Bupati yang akan dikucurkan pada proyek mulia ini, insya Allah akan lari ke laut.

Saya jadi ingat bahwa saya sendiri dulu juga sesekali ngemplang di kantin Pak Bon padahal dari rumah sudah dibekali keimanan cukup banyak oleh orang tua (kecuali mereka lupa membekali uang saku). Saat itu bersekolah memang sulit. Boro-boro uang saku, lha uang transport saja kita tidak punya kok! Ke sekolah saja saya sering jalan kaki yang jaraknya 8 km dari rumah. Bayangkan laparnya perut terutama setelah pelajaran olahraga yang membakar sisa-sisa lemak yang menempel di tubuh kurus saya. Seandainya ada ‘kantin kejujuran’ saat itu, insya Allah akan saya sambut dengan sangat gembira. 
Jadi ketika perut tak bisa saya ganjal dengan keimanan seberapa pun besarnya dan tak ada teman yang ngajak ditemani makan di kantin maka saya terpaksa ‘ngutang tidak bilang-bilang’ sama Pak Bon. Sambil mengunyah pisang goreng dan ‘ote-ote’ saya tak lupa melayangkan sebuah doa dengan khusuk agar Pak Bon sekeluarga rahimakumullah selalu mendapatkan limpahan rejeki dan tidak bangkrut oleh ulah saya yang mempraktekkan Prinsip 3-2-1 tersebut. Saya tentu tidak bisa mengharapkan bahwa Pak Bon akan mendapatkan ‘bail-out’ dari sekolah jika bangkrut. Kalau Pak Bon bangkrut kemana lagi saya akan menggantungkan harapan akan sepotong dua potong kudapan gratis pengganjal perut lapar sialan saya ini. Alhamdulillah! Nampaknya doa saya cukup diterima oleh Tuhan karena ternyata kantin mereka tetap buka meski tidak mencatat kemajuan dan mereka tetap tidak bisa buka franchise di sekolah lain.

Selain kasus siswa melarat dan kurang iman seperti saya ada juga para gerombolan pengemplang profesional yang meski berasal dari keluarga baik-baik dan dapat uang saku cukup besar dari orang tua mereka tapi menganggap ngemplang di kantin semacam tantangan yang menggairahkan. Mereka menganggap ‘Prinsip 3-2-1’ ini semacam hobi yang perlu dikembangkan dan dilombakan antar mereka sendiri. Mereka ini jauh lebih berbahaya karena benar-benar berdarah dingin alias Raja Tega. Saya sering bergidik membayangkan betapa besarnya dosa-dosa mereka. Semoga Tuhan mengampuni jiwa mereka.

Jadi kalau “Kantin Kejujuran’ bangkrut menurut saya kemungkinannya jauh lebih besar ketimbang prosentase keberhasilannya. Selama masih ada orang-orang miskin yang berangkat ke sekolah dengan perut kosong, para gerombolan anak-anak liar yang belum berhasil dijinakkan, dan teladan lebih dahulu dari bapak-bapak mereka soal kejujuran maka ide “Kantin Kejujuran” tersebut hanya akan jadi olok-olok. Itu sama dengan undangan makan gratis bagi siswa-siswa tersebut. Ini seolah ada yang ulang tahun di kantin tersebut setiap hari.
Metode ini juga belum akan efektif jika belum ada komitmen bersama dari semua pihak di sekolah untuk mensukseskannya. Semua pihak harus disadarkan dulu betapa pentingnya program ini dan siswa-siswanya perlu ditanamkan rasa takut akan konsekuensi perbuatannya. Jadi tidak bisa hanya dengan keinginan Pak Bupati dan Kejaksaan. Ini harus menjadi komitmen semua pihak. Dan itu yang susah.
Komitmen? Makanan apaan itu? Bisakah Pak Bupati, para muspida, para pejabat, para guru, dan para orang tua lainnya juga menjaga komitmennya bahwa mereka juga akan menunjukkan contoh dan keteladanan bahwa mereka juga tidak akan ngemplang di ‘kantin kejujuran APBD’, ‘kantin kejujuran proyek’, ‘kantin kejujuran kasus’ dan ‘kantin-kantin kejujuran’ lainnya? Mereka harus menunjukkan bahwa mereka juga akan berusaha sama kerasnya dengan para siswa untuk melawan keinginan ngemplang mereka seperti selama ini. Tanpa contoh dan keteladanan maka berapa pun modal yang akan dibail-outkan ke kantin tersebut tetap akan hilang begitu saja.

So, bagaimana? Masak Pak Bupati dan Kejaksaan mau nyerah begitu saja?! Malu dong! Jangan menyerah begitu saja menghadapi anak-anak ‘bermasalah’ ini. Perlu juga disadari adanya fakta beberapa siswa yang benar-benar tidak punya uang untuk membayar jajanan di kantin tersebut tapi rongrongan perutnya lebih menuntut sedangkan keimanan belum masuk betul ke hati.
Saya usulkan agar ada buku catatan hutang bagi siswa yang benar-benar tidak bisa membayar saat itu. Minta mereka menuliskan berapa jajanan yang mereka makan dan tuliskan juga janjinya kapan akan dibayar. Meski ditulis ‘akan saya bayar kalau saya mbesok sudah kerjo’ ya biar saja. Bukankah itu juga bentuk latihan untuk menuju ‘kejujuran’?!
Selamat menikmati Tahun Baru 2009 dan semoga kita bisa lebih jujur daripada tahun kemarin. 

Balikpapan, 31 Desember 2008
Satria Dharma

tulisan berikut gw dapet dari satriadharma’s weblog. gw suka ama isi dan gaya bahasanya. coz gw ngeliatnya karena isinya cerdas

Kalau Anda belum tahu apa itu ‘Kantin Kejujuran’ sebaiknya Anda membaca link berikut ini (http://www.diknas-padang.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=23&artid=240) atau (http://blogberita.net/2008/03/02/kantin-kejujuran/), lantas setelah itu mari kita membayangkan sebuah kantin sekolah yang sungguh ideal dimana setiap siswa dan guru adalah mahluk-mahluk jujur belaka dimana jika mereka masuk ke kantin sekolah, yang biasanya dijaga oleh istri Pak Bon dengan mata elangnya, tapi yang satu ini tidak dijaga siapa pun kecuali sejumlah malaikat berstatus volunteer yang tidak terlihat dan mendapat tugas khusus untuk mencatat siapa-siapa saja siswa dan guru yang mungkin belum kaffah kejujurannya. Tapi kalau mau ngemplang ya silakan saja. Hebat kan!

Para pembeli di kantin ini tentunya, diharapkan, adalah para siswa dan guru yang memasuki kantin dengan penuh keimanan di dada dan juga harus menguasai matematika (minimal aritmatika dasar penambahan dan perkalian) agar tidak keliru dalam membayar sejumlah uang sesuai dengan makanan, minuman, dan camilan yang mereka konsumsi serta berapa kembaliannya. Tak ada istri Pak Bon dengan mata elang dan kejeniusan aritmatiknya yang akan menghitungkan berapa uang yang harus kita bayar untuk makanan dan minuman yang kita kudap (atau mengingatkan siapa-siapa yang ngeloyor begitu saja tanpa membayar seolah masih sanak famili dari Pak Bon pemilik kantin). Di kantin jenis ini diharapkan siswa tidak menerapkan Prinsip 3-2-1 yang biasanya mereka terapkan di kantin reguler.

Apa itu Prinsip 3-2-1? Mohon jangan membayangkan ini sebagai strategi atau formasi tim LA Lakers karena prinsip ini berbunyi “Makan 3, Ngaku 2, Bayar 1”. Ini adalah semacam kredo siswa-siswa ‘mbeling’ yang mungkin ada di setiap sekolah yang kalau makan di kantin sekolah selalu berusaha untuk menerapkan prinsip ekonomi yang mulia dan agung ‘dengan usaha sekecil-kecilnya mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya’, atau prinsip kreditor klas internasional yang berbunyi “Kalau bisa ngemplang kenapa harus bayar? Apa kata dunia…?!”.
Jadi kalau mereka masuk ke kantin mereka akan makan seenaknya dengan cepat (kalau bisa tanpa mengunyah) dan membayar seenaknya pula. Mereka adalah para ‘kreditor’ berdarah dingin yang tidak perduli apakah dengan tindakan mereka tersebut akan membangkrutkan Pak Bon pemilik kantin atau tidak. Mereka juga tidak segan datang berombongan dengan kecepatan kilat dan kerjasama yang rapi untuk menghabiskan kudapan yang tertata rapi di meja kantin sekolah. Dengan semangat “Vini, Vidi, Vici” mereka membuat penunggu kantin terbengong-bengong melihat betapa pisang goreng yang semula sudah dihitung baik-baik ada dua puluh biji tapi kemudian uang yang masuk ke kotak kas cuma senilai lima biji! Tak ada gunanya berdebat dengan siswa-siswa ‘berdarah dingin’ ini karena sulit untuk membuktikan siapa makan apa dan berapa banyak. Mereka akan saling melindungi bak mafioso Italiano. Paling-paling Pak Bon akan menyimpan dendamnya diam-diam seperti biasanya dan bermimpi suatu saat jadi kepala sekolah. Kalau saja dia punya kekuasaan seperti kepala sekolah mungkin siswa-siswa mbeling tersebut sudah ia pecat dari sekolah biar hidupnya ‘ngere’ semua. Kok ya tega-teganya mereka merusak perekonomian mereka yang begitu labil tersebut!

Jadi siswa-siswa ini memang perlu diajari soal kejujuran agar kalau mereka kelak jadi anggota masyarakat yang terhormat mereka tidak lagi berusaha ngemplang dan sabet sana-sini. Indonesia sudah kebanyakan koruptor dan something has to be done. Pelajaran kejujuran itu harus dimulai dari sekolah dan ide tentang ‘Kantin Kejujuran” tersebut sungguh menarik. Begitu menariknya sehingga dengan cepat ide ‘Kantin Kejujuran’ ini diadopsi di mana-mana dan dianggap sebagai sebuah solusi untuk mendidik manusia-manusia Indonesia yang terkenal ‘ndableg pol’ dalam soal korupsi. Ide ini berhasil entah dimana, diberitakan dengan penuh gegap gempita, dan dianggap sebagai sebuah cara yang sangat tepat untuk mendidik siswa agar kelak tidak tumbuh menjadi koruptor seperti bapaknya. Untuk itu siswa harus diajari untuk bersikap jujur, tidak boleh ngemplang di kantin, tidak boleh kucing-kucingan dengan Bu Bon bermata elang, dan yang penting diberi kepercayaan bahwa mereka, para anak-anak penerus generasi bangsa tersebut, pastilah bisa lebih jujur ketimbang bapaknya yang koruptor. “Beri aku sepuluh pemuda dan akan aku guncangkan dunia” begitu kata Sukarno dulu. “Beri aku sebuah kantin dan akan aku ubah mereka menjadi anak-anak yang jujur dan beriman belaka” mungkin ini kalimat turunannya. “Kantin Kejujuran” adalah ide yang sungguh original dan brilian untuk mengubah nasib bangsa yang terpuruk gara-gara korupsi yang sudah dianggap sebagai ‘gawan bayi’! (Paling tidak pada saat dicetuskan dan dibayangkan).

Tapi saya sungguh tidak bisa menahan geli ketika muncul berita tentang bangkrutnya sebuah kantin Kejujuran di SMAN Tulungagung yang diresmikan oleh Pak Bupati! Kantin kejujuran SMUN 01 Boyolangu Kabupaten Tulungagung yang di-launching 20 hari lalu bangkrut. Pasalnya, modal awal yang disediakan panitia dan diharapkan bisa mencegah prilaku korupsi sejak dini tak kembali.
Realita ini membuat pihak sekolah memutuskan menutup sementara kantin kejujuran. Salah satu siswa kelas III IPA menuturkan, tidak sedikit dari teman-temanya yang sengaja mengambil untung dalam proyek yang disponsori Kejaksaan itu. Siswa yang tidak jujur dengan leluasa mengambil makanan dan minuman tanpa mau membayar. “Kalaupun membayar, biasanya oknum siswa ini mengambil kembalian uang yang tidak sesuai” lanjutnya. Modal awal sebesar Rp1.500.000, saat ini tinggal Rp. 90.000. Akibatnya kantin kejujuran ini harus ditutup untuk sementara untuk waktu yang tidak ditentukan. Mungkin harus menunggu program ‘bail-out’ dari Pak Bupati. 

Sekedar diketahui, kantin kejujuran SMUN 01 Boyolangu ini diresmikan bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi sedunia. Selain Kejaksaan dan muspida setenpat, Bupati Tulungagung Heru Tjahjono beserta seluruh jajarannya menyempatkan hadir dalam acara ini. Baca http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/29/1/177767/kantin-kejujuran-tulungagung-bangkrut

Tidak sesuai harapan? Bagi saya it’s so predictable! Menurut saya sungguh naif jika Pak Bupati dan para muspida berharap akan menuai sukses dengan mudahnya. Mungkin mereka berpikir masalah kejujuran bagi siswa sekolah adalah masalah membalik tangan. Mungkin beliau-beliau ini berpikir bahwa para siswa mbeling akan keder dengan ‘malaikat pencatat amal’ yang tidak kelihatan. Sungguh menggelikan harapan ini. Mereka lupa bahwa kejujuran, dan nilai-nilai luhur lainnya, butuh keteladanan lebih dahulu utamanya dari bapak-bapak mereka yang punya ide. 

Para pejabat ini mungkin tidak sadar bahwa mereka berhadapan dengan anak-anak mafioso yang selama ini tidak gentar menghadapi Pak Bon dan tim auditornya. Jadi jelas mereka tidak akan menggubris konsep ‘malaikat.pencatat amal baik dan buruk’ yang tak nampak dan tak mampu berbuat apa-apa selain mencatat itu. Di tangan para siswa berprinsip 3-2-1 inilah nasib Kantin Kejujuran ditentukan. Selama Pak Bupati belum meneken ‘Pakta Perdamaian’ dengan para begundal ini maka jangan harap bendera “Kantin Kejujuran” akan berdiri tegak. Berapa pun modal Pak Bupati yang akan dikucurkan pada proyek mulia ini, insya Allah akan lari ke laut.

Saya jadi ingat bahwa saya sendiri dulu juga sesekali ngemplang di kantin Pak Bon padahal dari rumah sudah dibekali keimanan cukup banyak oleh orang tua (kecuali mereka lupa membekali uang saku). Saat itu bersekolah memang sulit. Boro-boro uang saku, lha uang transport saja kita tidak punya kok! Ke sekolah saja saya sering jalan kaki yang jaraknya 8 km dari rumah. Bayangkan laparnya perut terutama setelah pelajaran olahraga yang membakar sisa-sisa lemak yang menempel di tubuh kurus saya. Seandainya ada ‘kantin kejujuran’ saat itu, insya Allah akan saya sambut dengan sangat gembira. 
Jadi ketika perut tak bisa saya ganjal dengan keimanan seberapa pun besarnya dan tak ada teman yang ngajak ditemani makan di kantin maka saya terpaksa ‘ngutang tidak bilang-bilang’ sama Pak Bon. Sambil mengunyah pisang goreng dan ‘ote-ote’ saya tak lupa melayangkan sebuah doa dengan khusuk agar Pak Bon sekeluarga rahimakumullah selalu mendapatkan limpahan rejeki dan tidak bangkrut oleh ulah saya yang mempraktekkan Prinsip 3-2-1 tersebut. Saya tentu tidak bisa mengharapkan bahwa Pak Bon akan mendapatkan ‘bail-out’ dari sekolah jika bangkrut. Kalau Pak Bon bangkrut kemana lagi saya akan menggantungkan harapan akan sepotong dua potong kudapan gratis pengganjal perut lapar sialan saya ini. Alhamdulillah! Nampaknya doa saya cukup diterima oleh Tuhan karena ternyata kantin mereka tetap buka meski tidak mencatat kemajuan dan mereka tetap tidak bisa buka franchise di sekolah lain.

Selain kasus siswa melarat dan kurang iman seperti saya ada juga para gerombolan pengemplang profesional yang meski berasal dari keluarga baik-baik dan dapat uang saku cukup besar dari orang tua mereka tapi menganggap ngemplang di kantin semacam tantangan yang menggairahkan. Mereka menganggap ‘Prinsip 3-2-1’ ini semacam hobi yang perlu dikembangkan dan dilombakan antar mereka sendiri. Mereka ini jauh lebih berbahaya karena benar-benar berdarah dingin alias Raja Tega. Saya sering bergidik membayangkan betapa besarnya dosa-dosa mereka. Semoga Tuhan mengampuni jiwa mereka.

Jadi kalau “Kantin Kejujuran’ bangkrut menurut saya kemungkinannya jauh lebih besar ketimbang prosentase keberhasilannya. Selama masih ada orang-orang miskin yang berangkat ke sekolah dengan perut kosong, para gerombolan anak-anak liar yang belum berhasil dijinakkan, dan teladan lebih dahulu dari bapak-bapak mereka soal kejujuran maka ide “Kantin Kejujuran” tersebut hanya akan jadi olok-olok. Itu sama dengan undangan makan gratis bagi siswa-siswa tersebut. Ini seolah ada yang ulang tahun di kantin tersebut setiap hari.
Metode ini juga belum akan efektif jika belum ada komitmen bersama dari semua pihak di sekolah untuk mensukseskannya. Semua pihak harus disadarkan dulu betapa pentingnya program ini dan siswa-siswanya perlu ditanamkan rasa takut akan konsekuensi perbuatannya. Jadi tidak bisa hanya dengan keinginan Pak Bupati dan Kejaksaan. Ini harus menjadi komitmen semua pihak. Dan itu yang susah.
Komitmen? Makanan apaan itu? Bisakah Pak Bupati, para muspida, para pejabat, para guru, dan para orang tua lainnya juga menjaga komitmennya bahwa mereka juga akan menunjukkan contoh dan keteladanan bahwa mereka juga tidak akan ngemplang di ‘kantin kejujuran APBD’, ‘kantin kejujuran proyek’, ‘kantin kejujuran kasus’ dan ‘kantin-kantin kejujuran’ lainnya? Mereka harus menunjukkan bahwa mereka juga akan berusaha sama kerasnya dengan para siswa untuk melawan keinginan ngemplang mereka seperti selama ini. Tanpa contoh dan keteladanan maka berapa pun modal yang akan dibail-outkan ke kantin tersebut tetap akan hilang begitu saja.

So, bagaimana? Masak Pak Bupati dan Kejaksaan mau nyerah begitu saja?! Malu dong! Jangan menyerah begitu saja menghadapi anak-anak ‘bermasalah’ ini. Perlu juga disadari adanya fakta beberapa siswa yang benar-benar tidak punya uang untuk membayar jajanan di kantin tersebut tapi rongrongan perutnya lebih menuntut sedangkan keimanan belum masuk betul ke hati.
Saya usulkan agar ada buku catatan hutang bagi siswa yang benar-benar tidak bisa membayar saat itu. Minta mereka menuliskan berapa jajanan yang mereka makan dan tuliskan juga janjinya kapan akan dibayar. Meski ditulis ‘akan saya bayar kalau saya mbesok sudah kerjo’ ya biar saja. Bukankah itu juga bentuk latihan untuk menuju ‘kejujuran’?!
Selamat menikmati Tahun Baru 2009 dan semoga kita bisa lebih jujur daripada tahun kemarin. 

Balikpapan, 31 Desember 2008
Satria Dharma